Selasa, 28 Juni 2011

Asal mula Danau Laut Tawar


Alkisah dulu di Takengon pernah ada sebuah kerajaan, tdk diketahui secara jelas apa nm kerajaannya tapi yg pasti dikerajaan itu ada seorang putri yg bernama Putri Pukes.

Putri Pukes mencintai seorang pria dari kerajaan lain tapi hubungan mereka tdk disetujui oleh orang tua Putri Pukes. Tapi sang putri tetap teguh dgn keinginannya sehingga akhirnya terjadilah pernikahan.

Saat Putri Pukes akan pergi menuju kerajaan suaminya, orang tua yg dari awal hubungan mrk tdk setuju berpesan…"Jika kau sudah pergi meninggalkan kerajaan ini janganlah sekalipun engkau palingkan wajahmu ke belakang "

Sang putri yang saat itu bimbang antara sayang dgn org tuanya serta cinta pada suaminya ternyata tdk dpt menahan kesedihan akibat kehilangan itu . Serta merta saat perjalanan yang dikawal oleh bbrp prajurit itu sang putri tdk sadar memalingkan wajahnya ke belakang…tiba2 bersamaan dgn itu datanglah petir yg diiringi dgn hujan lebat.

Para

pengawal menganjurkan kepada putri utk berteduh di sebuah gua yang tdk jauh dr tempat mereka.

Setelah berteduh dan mrk akan melanjutkan perjalanan, para pengawalpun memanggil putri yg berdiri disudut sendirian. Tapi dipanggil berkali2 sang putri tdk menyahut, ternyata setelah didatangi badan sang putri sudah mengeras seperti batu.

Sampai sekarang patung membatu sang putri sudah membesar dibagian bawahnya, tapi msh jelas bentuk sanggul dan perawakan yg mungil dari sang putri. Bagian bawah badannya yg besar katanya diakibatkan air matanya yg sampai skrg kadang2 msh jatuh. Kata sang penjaga jika org yg mengunjungi dan mengetahui kisah putri trus merasa sedih patung sang putri bisa saja tiba2 ikut mengeluarkan air matanya.

Disana juga ada lubang tempat suami sang putri lari, yg ktnya sampai sekarang arwahnya msh sering menjaga sang putri…begitulah kt sang penjaga.

Akibat hujan deras tadi terjadilah Danau Laut Tawar yang sampai sekarang byk dikunjungi oleh orang.

Putra Mahkota Amat Mude


Amat Mude adalah seorang putra mahkota dari Kerajaan Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sebagai pewaris tahta kerajaan, ia berhak menjadi Raja Negeri Alas. Namun karena ia masih kecil dan belum sanggup mengemban tugas sebagai raja, maka untuk sementara waktu tampuk kekuasaan dipegang oleh pakcik (paman)-nya. Pada suatu hari, sang Pakcik membuang Amat Mude dan ibunya ke sebuah hutan, karena tidak ingin kedudukannya sebagai Raja Negeri Alas digantikan oleh Amat Mude. Bagaimana nasib permaisuri dan Putra Mahkota Kerajaan Alas selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putra Mahkota Amat Mude berikut ini!

* * *

Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.

Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.

“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.

“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.

“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.

Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian kepadanya.

“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.

Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya berdoa dengan penuh khusyuk.

“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai seorang putra,” pinta sang Raja.

Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan.

“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.

Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan nama putra Raja, yakni Amat Mude.

Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh badannya terasa lemah dan letih.

“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.

Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya. Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.

Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja, apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan. Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.

Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.

“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke tengah hutan!” titah Raja Muda.

“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.

“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab Raja Muda.

“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari tanganku,” ungkap Raja Muda.

“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap pengawal yang lain.

“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.

Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara, karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat hukuman berat.

Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar mereka.

Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat Mude menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata pancing.

Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.

“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.

“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.

Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.

“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu heran.

Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan membeli semua ikan jualan mereka.

Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan tersebut dengan pisaunya.

“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu dalam hati dengan penuh keheranan.

Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah emas murni.

“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!” pinta saudagar itu kepada istrinya.

“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.

“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada istrinya.

“Baik, Bang!” jawab sang Istri.

Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu, permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya itu sangat baik kepada mereka.

“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.

“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.

Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali mereka makanan yang lezat-lezat.

Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar. Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.

Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya. Dalam hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan celaka.

“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.

Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.

“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.

“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan maksud perjalanannya.

Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap ketiga binatang raksasa itu.

“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.

“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.

“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung Naga besar itu.

“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.

Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude. Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.

Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”

“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.

“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.

Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan ramai di kediaman Amat Mude.

Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda, Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

* * *

Demikian cerita Putra Mahkota Amat Mude dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tabah dan giat berusaha. Sifat ini tercermin pada sikap permaisuri dan Amat Mude yang senantiasa bersikap tabah menghadapi penderitaan dan selalu giat berusaha. Akhirnya mereka menjadi kaya dan hidup bahagia. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika perbuatan jahat seseorang dibalas dengan kebaikan, maka suatu saat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari perbuatan jahatnya dan akan berbuat baik. Hal ini tergambar pada sikap dan perilaku Raja Muda yang selalu berniat jahat kepada Amat Mude, namun Amat Mude senantiasa membalas niat jahatnya tersebut dengan kebaikan. Akhirnya, Raja Muda pun menyadari perbuatannya dan menobatkan Amat Mude menjadi Raja Negeri Alas.

Mentiko Betuah


yang malas lagi manja. Hal itu membuat malu sang ayah. Hingga ia pun diusir dari istana. Bagaimana nasib Rohib selanjutnya? Dan apa yang dimaksud dengan Mentiko Betuah tersebut?

**********

Dahulu ada seorang raja yang sangat kaya raya. Ia memerintah di daerah Semeulue, Aceh. Raja begitu dicintai rakyatnya. Wajar saja karena ia sangat bijak dan dermawan. Sayang meski telah menikah bertahun-tahun, raja belum juga dikaruniai seorang putra yang akan meneruskan tahtanya.

Suatu hari ia mengajak permaisurinya untuk berdoa dan mensucikan diri dengan berendam di hulu sungai. Maka dengan membawa perbekalan yang cukup, mereka pun berangkat. Tempat yang ditujunya sangatlah jauh. Harus melewati hutan yang lebat dan sungai yang deras. Namun dengan ketabahan mereka, akhirnya mereka tiba dengan selamat. Mereka pun mulai berdoa memohon kepada Tuhan untuk memberi mereka keturunan. Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke istana.

Doa mereka ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Permaisuri ternyata hamil. Sembilan bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang diberi nama Rohib. Kedua orang tuanya sangat menyayangi anak satu-satunya itu, bahkan cenderung memanjakannya. Tidak heran jika Rohib tumbuh menjadi anak yang malas dan manja.

Ketika Rohib menginjak remaja, raja mengirimnya ke kota untuk belajar ilmu pengetahuan.
“Jangan lupa untuk selalu belajar dengan giat!” kata raja ketika Rohib berpamitan.
Namun karena sifatnya yang malas dan manja, Rohib tidak kunjung bisa menamatkan belajarnya meskipun sudah bertahun-tahun ia berguru. Hal itu membuat raja malu dan murka.
“Kamu memang anak yang tidak berguna,” maki raja saat Rohib pulang ke istana. “Bisamu hanya mempermalukan orang tua saja. Lihat dirimu! Sudah setua ini kamu belum bisa apapun. Bagaimana kamu bisa memimpin negri. Lebih baik kubunuh saja kamu daripada membuatku malu!”
Permaisuri menangis mendengar kata-kata raja tersebut.
“Jangan kau bunuh anak kita kanda! Dia anak kita satu-satunya. Kau boleh menghukumnya, asal tidak membahayakan nyawanya,” isak permaisuri.
“Hhhh….tapi kelakuan anak ini sudah membuatku muak,” ujar raja.
“Itu karena kita terlalu memanjakannya. Bagaimana kalau kanda memberinya modal untuk berdagang. Biar ia berkelana dan belajar bagaimana susahnya hidup,” usul permaisuri.
“Baiklah aku terima usulmu dengan satu syarat! Ia tidak boleh menghabiskan uangnya kecuali untuk berdagang. Dan jika ia pulang nanti ia harus membawa keuntungan dari hasil dagangnya. Jika tidak, maka hukuman berat sudah menanti,” kata raja.

Maka berangkatlah Rohib dengan berbekal sekantung uang di kantungnya dan deraian air mata sang bunda. Ia berjalan berhari-hari tanpa tahu kemana harus menuju dan apa yang harus dilakukan.
Suatu hari ia melihat beberapa anak sedang menganiaya seekor burung. Ia mendekati mereka.
“Nak, jangan kau aniaya burung itu! Kasihan. Lepaskanlah burung yang tak berdosa itu!” tegurnya.
“Jangan ikut campur! Apa urusanmu menegur kami? Kami tidak kenal kamu,” kata mereka.
Mereka meneruskan perbuatannya tanpa mempedulikan Rohib.
“Nak, bagaimana kalau aku membeli burung itu? Aku akan memberimu uang yang banyak,” kata Rohib.
Anak-anak itu setuju melepaskan burung tersebut dan menerima beberapa keping uang dari tangan Rohib.

Rohib kembali meneruskan perjalanannya. Belum seberapa jauh ia berjalan, kembali ditemuinya beberapa orang yang sedang menganiaya seekor ular. Ia pun menukar ular itu dengan beberapa keping uang. Demikianlah ia selalu memberikan uangnya untuk membebaskan binatang-binatang yang ditemuinya. Hingga tanpa disadarinya semua uangnya telah habis. Rohib pun gelisah memikirkan bagaimana cara menghadapi ayahnya.

Rohib yang kelelahan menyandarkan dirinya di sebuah pohon di pinggir hutan. Di sana ia menyadari kesalahannya dan mulai menangis.
“Kenapa kau menangis anak muda,” tanya sebuah suara.
Rohib mengangkat mukanya dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari penegurnya. Namun yang dilihatnya hanyalah seekor ular yang sangat besar. Rohib mundur dengan ketakutan.
“Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu,” kata ular itu.
Rohib tercengang mengetahui bahwa ular itulah yang menegurnya.
“Apakah aku tidak salah dengar? Aku mendengarmu berbicara. Siapakah kau wahai ular?” tanya Rohib.
“Aku adalah raja Ular. Dan hutan ini adalah tempatku. Lalu kau siapa anak muda dan kenapa kau bersedih?” tanya ular.
“Namaku Rohib. Dan aku sedang menagisi kebodohanku,” kata Rohib. Ia lalu menceritakan kisahnya kepada ular.
“Hmmm…aku sudah mendengar bahwa kau menyelamatkan banyak warga hutan ini. Dan aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih,” kata ular sambil menganggukan kepalanya.
“Aku bisa membantumu!” ujar ular. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah batu permata dari mulutnya dan memberikannya pada Rohib.
“Ini adalah sebuah mustika, namanya Mentiko Betuah. Mustika ini sangat sakti. Ia bisa mengabulkan apapun permintaanmu. Simpanlah sebagai hadiah dariku,” kata ular tersebut. Rohib mengucapkan terima kasih dan ular itu pun kembali ke dalam hutan.

Berbekal mustika tersebut, Rohib memutuskan untuk pulang ke isatana. Sebelumnya ia meminta mustika itu untuk memeberinya uang yang banyak, lebih banyak daripada uang yang diterimanya dari sang ayah. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa uang itu adalah keuntungan dagangnya. Maka raja pun menerima ia kembali di istana.

Kini Rohib kebingungan mencari tempat yang aman untuk menyimpan mustikanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikatnya dengan emas menjadi sebuah cincin. Ia menyuruh seorang tukang emas untuk mengerjakannya. Tapi tukang emas itu tahu bahwa permata itu adalah sebuah mustika, maka ia membawa cincin itu kabur.

Rohib meminta tolong kepada ular sahabatnya untuk mendapatkan kembali cincin mustika tersebut. Ular memerintahkan kucing, anjing dan tikus untuk mengejar si tukang emas.

Anjing yang penciumannya sangat tajam segera menemukan tempat persembunyian si tukang emas di seberang sungai. Mereka mencari akal bagaimana caranya mengeluarkan cincin mustika yang disembunyikan tukang emas itu di dalam mulutnya. Kucing dan tikus menyeberangi sungai saat malam tiba dan menunggu hingga tukang emas itu tidur. Kucing berhasil membuka pintu masuknya. Lalu tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas, membuatnya bersin dan membuat cincin itu terlempar dan menangkapnya. Mereka pun kembali menyeberangi sungai. Di sana anjing sudah menunggu mereka dengan cemas.

“Kalian berhasil mendapatkannya?” tanya anjing.
“Ya. Tikus yang menyimpannya,” kata kucing.
Tiba-tiba tikus menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku kawan-kawan. Aku ceroboh. Saat kita menyeberang sungai tadi, tanpa sengaja aku menjatuhkan cincinnya. Kini cincin itu hilang,” katanya.
“Apaa…? Kita harus mencarinya!” kata kucing.

Sementara anjing dan kucing sibuk mencari cincin mustika itu di dasar sungai. Tikus melarikan diri menuju ke tempat Rohib menunggu. Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Tikus menyimpannya di dalam mulutnya. Sehingga ketika ia menyerahkan cincin itu ke tangan Rohib, ialah yang dianggap sebagai pahlawan dan dianugerahi hadiah.

Ketika kucing dan anjing tiba dengan tubuh basah kuyup dan mendengar bahwa cincin mustika itu telah kembali ke tangan Rohib, tahulah mereka bahwa tikus telah berbohong. Sejak saat itu Anjing dan Kucing sangat membenci tikus. Setiap kali ada kesempatan mereka selalu memburunya.

Asal Usul Tari Guel

Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.

Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.

Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.

Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.

Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.

Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.

Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.

Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.

Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.

Unok

(Cerita Rakyat Gayo, Aceh)

Dele jema berpendepet, mumerinen apabile bur mubeltak mekesute lagu Bur Ni Telong so ke basa Indonesiae gunung merapi, mubeltak sara waktu tangkuh ari wan bur a, wih, rara, tanoh cempege, ledak, atu bene sana si ara wan tuke ni bur a tangkuh lagu jema peloahan. Bekase si taring nge mujadi keltung renyel wih pe mugenang, pemarine mujadi lut, lagu lut Tawar-te ni. Danau basa Indonesiae. Ike sinting beta asal usul ni lut atawa danai bewe ne, keta nge trang sengkiren Bur Ni Telong so mubeltak, meletus nge turah lo ari pe lut atawa danau. Buge entimi bur a mubeltak kuneh lo ari pe, ata meh mureh muremok lengas mujadi rata kase. Senuen, manuksie, koro, kude, kaming, bebiri, ume a bene rusak gere ne tehunei. Syukur ike gere sampe ku nyawa.

Keta kekeberan ni jema tetue tentang asal usul ni Danau Laut Tawar-te ni, cube keta ipengen, kadang te kase nguk gunei kin isi nate kin pengemasan, orop cerak-cerak berakah.

Pudaha, silun, sedenge beta kire-kire, ara sara jema ulama, jema malim ke kene pakea pudaha oyale si ulie. Si ulie ni si gatine keta beribedet i Mekkah, si nge terang tentu ike semiang Jemat. Nge mari muniri-niri renyelwe berangkat ku Mekkah. Ke bukeneh pe jarake, sejep we nge minter sawah, keta mari semiang kase ulakwe mien ku Gayo ni. Sana i genie, gere kubetih, gere ara seder jema kadang te begene burak lagu nabi mekraj, mi kadang ta betul pe, kadang te temerbang, oya pe gere ara seder jema, si mehate remalan we si ara mukeber.

Si ulie ni ne bedene kul, atas, anyong, langkahe pe pepien meteri, seger jangkang pe kadang te nge orap si pe, kekirentemi we munyawahne. Gere sidah pe atas ni bur si teridah kite engon ni, relem narul, kolak ni lut, nguk perin nise gere ara nyanya. Gere ara perasante si nguk mulintang langkahe ke kusih pe we male beluh. Betale kire-kire kul ni bedene, kolak ni jangkange, angong ni tubuhe buh jeme persine Unok.

Se ni pe kin pengalut ni jema ke ara jema bi bejangkang kolak, kul bedene, keta renyel rasi jema, kul ni beden pe lagu Unok, beta kedah.

Jadi ike munurut kekeber ni jema jemen, Danau Laut Tawar-te nipudaha gerele lagu besilo ni koleke, kucak we, lagu kulem. Wihe mujelobok mumata ter ari tuyuh, jernih pedi, sonele dirodari muneniri bersesangulen sesabi dirie, mari-mari niri ho ulak mien ku langit. Kene jema petere Bensu pe, yonele muniri, bepangir urum aka-akae I sagi-sagi ni karang so Malim Dewa munenep sesire beserune muguel bensi, mungantehi pateri Bensu. Nge mari muniri, keta ulak temerbang mien ku nenggeri Antara, beta kene jema.

I geniring ni kulem a ne ara sara batang ni kayu kul pedi. Ton ni benatang-benatang uten a belongoh porak le so, begegolahan kadang te gerahan keta minum ku wan kulem a. Manuk pe beta mumangani uah ni kayu a ne, gerahan-gerahan so keta ne renye minum kone. Batang kayu len pe dele ilen one ara seba mi, ara si muah ara si gere tempat ni manuk berdediang terbang ari ranting ku cabang memangani uah, mungenali iyok kin isi ni pogenge.

Jadi pede serlo ter bilangan si jeroh ketika si bise, turun ilham ku Unok ni ne bahwa kase sara masa male terjadi turun ni Tuhen cubeen ku makhluk atan denie ni munuji sahan-sahan si berimen, sahan si gere. Si berimen keta selamat kerna we mumengen manat, keta si gere nge terang mudepet ezeb kerna darohaka. Male geh kase wih kul, banjir kene basa besilo ni, bur si atas-atas pe meh apus buh wih kula, denie ni mugenang. Jadi turah tos sara perau kul kin tempat besilu. Atau perau a ne le berumah, i one mangan minum, imah perbekalan si genap dirie kin papien lo ni kadang te sawah pe ku ulen ku tun beta mulo. Perau kul a ne turah tir itos imungen, si nge turah ara bepari i sara tempat, si kire-kire murah berhubungan urum Mekkah.

Jadi, nge putus makripet ni Unok ne gere ara len pilihne, keta batang kayu kul si genering ni kulem a ne le si turah ijadin kin perau kul, ke nume oya keta gere sidah pe kase isie.

Tar bilangan si jeroh tar ketike si bise, putus makripet bulet ate tumung kekire ni Unok ni, kayu kul si genering ni nin a nepe ijerhutne. Mujergut urum uyet-uyete, tar one ieyate maran-aran renyel sawah ku serap ni lut Acih so tar one renyel ku Mekkah.

Ale bekas ni perdu ni kayu a ne, tanohe ke nge mubungker lagu kul nge mukelong mukultung, renyel mujadi kulem kul, kulem uyet ni kayu kul a ne nyap-nyapan relem sari ku wan tanoh se mupantik. Loloten kayu si sare Unok a ne oyale kebere mujadi arul kucak, meh kemokotne memakin relem memakin kolak, wihe pe renye memakin deras.

Oyale keta ne asal usu ni Dana Laut Tawar-te ni urum wih kul si bergeral Sungai Pesangan, si mujaril sawah ku Lut Acih so.

Uraian ringkas

Menceritakan makhluk halus atau aulia yang bertubuh tinggi, besar dan juga seorang ulama. Dia selalu bersembahyang di Mekkah dan sholat Jumat di daerah Gayo, sedangkan kendaraan yang dipakainya belum dapat dipastikan. Menurut wahyu yang diterima Unok itu dari dari Maha Pencipta bumi dan langit ini bahwa pada suatu masa akan terjadi malapetaka diturunkan Tuhan ke daerah Gayo ini, yaitu air bah yang akan menghancurkan harta benda dan raga manusia ini seluruhnya. Oleh karena itu, Unok berusaha membuat sebuah perahu besar dari kayu besar yang tumbuh di tepi Danau Laut Tawar yang terdapat di daerah Gayo. Perahu itu kelak akan dijadikannya untuk mengangkut orang-orang Gayo yang apabila terjadi air bah itu nanti. Konon kabarnya pula bahwa bekas pohon kayu dicabut inilah yang menjadikan Danau Laut Tawar itu semakin luas seperti keadaannya dewasa ini.

Dalam cerita itu juga disinggung bahwa Danau Laut Tawar itu adalah tempat puteri kayangan alias puteri tujuh, termasuk puteri Bungsu turun dari langit untuk mandi-mandi di sana, yang ada waktu itu diintai oleh seorang pemuda yang bernama Malim Dewa menurut cerita itu. Pohon besar itu tadi ditarik-tarik oleh Unok itu melalui lautan luas, yang akhirnya sampai ke Mekkah.